JANJI PENYELESAIAN KONFLIK DI PAPUA HANYA SEKEDAR JANJI JANJI MANIS

 

ilustrasi konflik
Opini: oseii


Penyelesaian konflik di tanah Papua dari tahun ke tahun selalu menjadi sorotan baik dalam negeri maupun luar negeri, hal ini karena konfik yang terjadi berkepanjangan yang terjadi cukup lama itu terjadi sejak tahun 1961 hingga hari ini. Konflik yang terjadi  karena Indonesia mengklaim bahwa Papua dijajah oleh Belanda dan sesuai dengan perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) bahwa Belanda harus menyerahkan semua jajahan belanda di Nusantara ke pihak Indonesia. Hingga pada 1 desember 1961 Papua meproklamirkan kemerdekaan dengan ditandai dengan kenaikan bendera Papua dan bendera Belanda di Holandia (Jayapura), sejak itu pemerintah Indonesia merespon  dengan membentuk Tri Komando Rakyat ( TRIKORA) yang langsung dikomandoi oleh  Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian hari menjadi presiden Indonesia , isi dari TRIKORA adalah sebagai berikut: Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan sang merah putih di irian barat dan tanah air Indonesia, bersiaplah mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Hal itu seolah menandai konflik yang berkepanjangan yang terjadi di tanah Papua yang memakan banyak korban yang berjatuhan baik dari pihak masyarakat sipil, OPM, maupun TNI/POLRI . kondisi yang terjadi di Papua diperparah lagi dengan penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang dilaksanakan pada tahun 1969 dengan berbagai kecurangan yang akhirnya memaksa Papua masuk menjadi wilayah Indonesia dan disusul dengan berbagai operasi operasi militer di tanah Papua. Dari tahun ke tahun dan setiap pergantian presiden wacana akan penyelesaian konflik yang terjadi di Papua selalu di wacanakan. Hingga pada presiden Gusdur wacana akan penyelesaian konflik yang terjadi di tanah Papua memunculkan harapan, hal ini ditandai dengan presiden Gusdur mengizinkan pengibaran bendera Papua di tanah Papua dengan catatan bendera Papua tidak boleh lebih tinggi dari bendera Indonesia namun harapan akan penyelesaian konflik dan sebagainya itu hilang setelah Gusdur di lengserkan dan presiden digantika dengan Megawati. Yang mana saat itu mengawati sendiri merespon itu dengan memberikan otonomi khusus (OTSUS) pada tahun 2001 untuk Papua, yang mana otsus sendiri mayoritas tidak di inginkan oleh masyarakat Papua. Selanjutnya sejak tahun 2003 pemerintah Indonesia kembali memberikan pemekaran  daerah baru baik provinsi maupun kabupaten. Yang mana banyak orang Papua yang menganggap bahwa pemberian pemekaran ini melanggar UU OTSUS Papua yang sebelumnnya doberikan oleh pemerintah Indonesia yang mana dalam uu no 21 tahun 2001 pasal 76 yang kurang lebih menyatakan  bahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh sungguh kesatuan sosial budaya kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang. namun dalam pemberian pemekaran ini MRP maupun DPRP yang dibentuk oleh produk uu dari pemerintah Indonesia sendiri tidak dilibatkan sama sekali seperti yang di amanatkan oleh uu no 21 tahun 2001 tetapi pemerintah Indonesia secara sewenang wenang melalui Megawati justru  mengeluarkan inpres no 1 tahun 2003 tentang pembentukan provinsi Papua Barat dan beberapa kabupaten di Papua.

Pemberian OTSUS dan Pemekaran yang diberikan oleh pemerintah secara Cuma Cuma kepada masyarakat Papua yang mana itu ditolak oleh masyarakat Papua, ini seolah melupakan masalah utama yang terjadi di tanah Papua, yang mana konlik bersenjata yang memakan banyak korban ini seolah pemerintah tutup mata akan hal penyelesaian konflik itu, penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Papua ini jelas karena mereka ingin masalah utama yang terjadi di tanah Papua ini dapat di selesaikan oleh pihak pihak yang bertikai seperti OPM, TNI/POLRI dan pemerintah Indonesi, banyak masyarakat Papua yang mendorong agar dialog antara Papua dan Jakarta di usahakan agar hasil dari dialog dapat menemukan jalan keluar dalam menyelesaikan konflik bersenjata di Papua. Hingga hari ini banyak masyarakat di Papua masih mendorong agar dialog antara Papua dan Jakarta segera diusahakan hal ini karena pemerintah Indonesia memberikan perlakuan yang berbeda kepada daerah Aceh. Aceh juga merupakan salah satu daerah konflik yang juga ingin memisahkan diri dari Indonesia namun pada tahun 2006 pemerintah Indonesia dan Aceh sepakat berdamai dan diberikan OTSUS setelah dilakukan dialog yang dilaksanakan di Heslinky. Hingga hari ini banyak pihak yang mempertanyakan sikap pemerintah Indonesia yang memberikan perlakuan berbeda kepada Papua dan Aceh, pertannyaan itu adalah kenapa pemerintah mau dialog dengan Aceh namun pemerintah sulit bahkan mustahil untuk melakukan dialog dengan Papua padahal jika dilihat secara historis kedua daerah mempunyai sejarah yang sama yaitu sama sama bertikai dengan Indonesia dan ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Pada tahun 2019 saat terjadi rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, api dari rasis itu membara di seluruh tanah Papua dan tuntutan akan kemerdekaan Papua oleh masyarakat Papua bergemang muncul isu dan wacana bahwa pemerintah Indonesia siap bertemu dengan beberapa organisasi perlawanan yang ada di Papua untuk melakukan dialog, walaupun isu itu langsung dibantah oleh pemerintah Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia ini seolah mereka ingin konflik yang terjadi di tanah terus terjadi. Sikap Indonesia terhadap konflik yang terjadi di tanah Papua selalu bertentangan dengan apa disampaikan oleh pemerintah Indonesia di media dan apa yang terjadi dilapangan atau di tanah Papua, salah satu contoh adalah ketika jendral Andika Perkasa yang diangkat menjadi jendral TNI beliau menyatakan bahwa penanganan konflik di Papua akan dilakukan dengan mengedepankan cara cara humanis namun dalam pelaksanaanya berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan di media, pengiriman pasukan ke tanah Papua terus terjadi dalam jumlah yang sangat banyak dan yang paling menggegerkan adalah ketika terjadi mutilasi yang dilakukan oleh beberapa oknum TNI terhadap 4 masyarakat Nduga itu menjadi salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi di tanah Papua, janji janji yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh bapa Pdt, Benny Giyai saat tampil di Metro TV bahwa konflik berkepanjangan yang terjadi di tanah Papua salah satunya adalah karena pemerintah Indonesia selalu bicara di media dan sebagainya lain namun ketika pelaksanaanya dilapangan selau berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan di media.

Salah satu hal yang kadang tidak dipahami oleh pemerintah Indonesia adalah bahwa orang Papua ingin merdeka dan sebagainya karena mereka ingin kehidupan yang sejahtera padahal seperti yang disampaikan oleh salah peneliti LIPI alm. Muridan seperti dikutip dari http://lipi.go.id/ Persepsi tentang akar masalah Papua versi pemerintah -bahwa semua disebabkan faktor kesejahteraan yang kurang sehingga muncul keinginan Papua untuk merdeka-, menurut Muridan, tidak dibenarkan oleh masyarakat Papua sendiri. "Mereka bilang tidak seperti itu. Nah oleh karena itu, ini perlu dibentuk suatu kesepakatan dulu. Dialog akan membuka jalan untuk itu, " kata Muridan. Lewat dialog, lanjut Muridan, akan menyepakati masalah dan menemukan jalan untuk menyelesaikan masalah itu.

Menurut studi yang dilakukan LIPI, Muridan menjelaskan, ada 4 akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. "Orang Papua masih belum merasa bahwa proses integrasi ke dalam Indonesia itu benar. Itu harus dibicarakan, " kata Muridan.

Kedua, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak terselesaikan. Operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 hingga kini, membuat masyarakat Papua memiliki catatan panjang mengenai kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia. "Itu membuat masyarakat Papua semakin sakit hati terhadap Indonesia. Luka kolektif itu terpendam lama dan selalu mereka sosialisasikan itu di honai-honai (rumah-red), " kata Muridan.Oleh karena itu, Muridan memandang fenomena gerakan generasi muda Papua yang lebih radikal dapat dipahami dengan penjelasan di atas. "Karena itu, kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang tak pernah kita pertanggungjawabkan, " kata Muridan.

Ketiga, semua hal di atas membuat masyarakat Papua timbul stigma sebagai orang yang termarjinalisasikan. "Dengan migrasi, pembangunan, dan lain-lain yang tidak melibatkan orang Papua, maka mereka merasa tersingkir, " kata Muridan.Jika sudah merasa tersingkir dengan kenyataan kondisi pendidkan dan kesehatan yang buruk, lanjut Muridan, masyarakat Papua semakin merasa terdiskriminasi oleh proses modernisasi. "Kalau Anda kurang gizi dan bodoh, maka Anda tidak akan dapat pekerjaan yang baik. Di situ Anda terdiskriminasi oleh struktur, " kata Muridan.

Keempat, kegagalan pembangunan Papua. "Kita gagal membangun. Ukurannya sederhana saja, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat, " kata Muridan. Kenyataan di Papua, lanjut Muridan, mudah sekali menemukan sekolah yang tidak berjalan proses belajar mengajar karena tidak ada guru dan juga puskesmas yang kosong karena tidak ada tenaga medis dan obat-obatan.

Dari penjelasan mengenai akar masalah yang terjadi di tanah Papua yang disampaikan oleh alm. Muridan dan LIPI pemerintah Indonesia gagal faham akan akar konflik yang terjadi di tanah Papua. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya sampai kapanpun janji janji manis akan perdamaian yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia dan kedamaian yang didambakan oleh orang Papua tidak akan terjadi selagi pemerintah Indonesia belum faham dan membuka mata mengenai  akar masalah yang terjadi di tanah Papua dan pemerintah Indonesia hanya terpaku pada pemahaman akan orang Papua hanya butuh kesejahteraan.

 

Oseii


Komentar

  1. Saya sangat apresiasi sama saudaraku, dan keingin saya disini berikan yang terbaik kedepannya lagi yang saudara sudah memposting agar kami semua bisa termotivasi. #smile😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLUNYA PARTAI POLITIK LOKAL DI PAPUA

PROPAGANDA PEMERINTAH DAN PEMBANGUNAN “FIKTIF” DI PAPUA MELALUI MEDIA

OTSUS DAN KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP KUCURAN DANA OTSUS PAPUA