OTSUS DAN KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP KUCURAN DANA OTSUS PAPUA
Ilustrasi Otsus Papua |
Opini: Oseii Petege
Teori ketergantungan
Teori ketergantungan seperti dikutip dari wikipedia.org Teori Ketergantungan atau dikenal teori depedensi (bahasa inggris: dependency theory) adalah salah satu teori yang melihat permasalahan pembangunan dari sudut Negara Dunia Ketiga. Menurut Theotonio Dos Santos, Dependensi (ketergantungan) adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara–negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara–negara lain, di mana negara–negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Aspek penting dalam kajian sosiologi adalah adanya pola ketergantungan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya dalam kehidupan berbangsa di dunia. Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara pinggiran.Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili "suara negara-negara pinggiran" untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Teori Ketergantungan (Dependency Theory) menurut Melvin Defluer dan Sandra Ball Roceach , adalah teori tentang komunikasi massa yang menyatakan bahwa semakin seseorang tergantung pada suatu media untuk memenuhi kebutuhannya, maka media tersebut menjadi semakin penting untuk orang itu. Sementara menurut Paul baran baginya, sentuhan ini akan mengakibatkan negara-negara kapitalis tersebut terhambat kemajuannya dan akan terus hidup dalam keterbelakangan.
Dari kedua pendapat para ahli diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ketergantungan adalah ketergantungan terjadi ketika suatu negara, kelompok, dan sabagainya terlalu bergantung kepada suatu negara atau individu bahwasanya suatu negara atau individu itu mampu memenuhi kebutuhan mereka, yang mana akibat dari itu suatu negara atau kelompok yang terlalu bergantung akan memiliki kecendurungan untuk tidak mau berusaha dan akibatnya suatu negara atau kelompok itu akan susah untuk melakukan kemajuan dalam berbagai bidang.
KETERGANTUNGAN TERHADAP OTSUS DI TANAH PAPUA
Seperti dikutip dari bukunya I Ngurah Suryawan dengan judul Jiwa Yang Patah, dalam bukunya dia memberikan pemahaman komprehensif tentang otsus di Papua hadir dengan muatan politis yaitu untuk meredam tuntutan kemerdekaan di seluruh tanah Papua, yaitu pada tanggal 26 februari 1999 presiden B.J Habibie menerima sebuah delegasi yang disebut dengan “ tim 100” yang merupakan perwakilan dari masyarakat Papua yang mengekspresikan keinginan mereka untuk memisahkan diri dari negara Indonesia. Sebagai tangggapan dari permintaan tersebut justru pemerintah membuat UU No 49 tahun 1999 tentang pemekaran di Papua yang saat itu masih Irian Jaya menjadi provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya barat dan pemekaran kabupaten yaitu kab Paniai, kab Mimika, kab Puncak Jaya dan kota Sorong. Kebijakan ini ditolak oleh masyarakat Papua dengan dengan sebuah demonstran besar, termasuk dengan pendudukan kantor DPRD di Jayapura pada tanggal 14-15 oktober 1999. Yang mana penolakan dari kebijakan ini adalah pemerintah pusat mengambil kebijakan tanpa konsultasi dengan orang Papua.
Pada tanggal 19 oktober 1999, sidang umum dari sesi ke 12 dari Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR) melalui ketetepan MPR No. IV/MPR/1999 yang mendukung otonomi daerah dalam kerangka NKRI. Setelah B.J Habibie digantikan oleh K.H Abdurrahman Wahid sebagao presiden. MPR kemudian mengeluarkan ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 mengenai rekomendasi rekomendasi kebijakan dalam menerapkan peraturan otsus, setelah menampung berbagai diskusi dan aspirasi akhirnya pemerintah setuju untuk mengubag RUU menjadi UU. Berdasarkan inilah presiden K.H Abdurrahman Wahid mengesahkan UU No 21 tahun 2001 mengenai otonomi khusus Papua yang mana menurut pemerintah pusat adalah untuk mempercepat pembangunan ditanah Papua padahal faktanya adalah untuk meredam aspirasi kemerdekaan di Papua.
Bagi beberepa orang ditanah Papua, kehadiran otsus seperti malaikat yang hadir dan akan mengangkat derajat orang Papua setelah mengalami berbagai keterpurukan, penderitaan yang dialami oleh masyarakat Papua sejak integrasi pada tahun 1969 dan berakhirnya orde baru dibawah presiden soeharto yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, hal ini wajar saja karena pihak pihak yang menganggap otsus sebagai malaikat ini bersepsi bahwa pemerintah daerah akan diberikan kewenangan sepenuhnya oleh pemerintah pusat untuk mengatur daerahnya secara penuh sesuai dengan asas desentralisasi. Ahli ahli memberikan kewenangan yang sepenuhnya kepada pemerintah daerah, justru pemerintah pusat tidak memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah Papua. Fakta yang terjadi ditanah Papua setelah diberikan otsus adalah pemerintah hanya memberikan kucuran dana yang besar namun kewenangan yang harusnya diberikan sama sekali tidak diberikan, kondisi ini akhirnya membuat pemerintah daerah bingung baik dalam pengelolaan dana yang diberikan maupun kebijakan lain yang berhubungan dengan kondisi pembangunan Papua. Akibat dari kucuran dana dari otsus maupun dana dana lain yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di Papua menyebabkan banyak masyarakat di Papua yang dulunya menggantungkan hidupnya melalui berkebun dan sebagainya kini banyak yang beralih dan menjadikan kucuran dana yang diberikan oleh pemerintah menjadi alat ataupun bahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pemikiran yang muncul saat ini di beberapa kalangan baik elit maupun masyarakat Papua saat ini adalah bagaimana saya mendapatkan keuntungan dari dana dana yang dikucurkan daripada berpikir dan saling mengedukasi antar sesama tentang bagaimana memutus rantai ketergantungan terhadap kucuran dana dari pemerintah pusat dan masyarakat Papua kembali ke kemandirian pangan yaitu berkebun. Berkebun untuk orang Papua bukan hal baru hal itu seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Heinzpeter Znoj, antropolog dari Universitas Bern, Swiss seperti dikutip dari jubi.co.id dia memperkirakan orang Papua di pegunungan, mulai dari wilayah Meepago sampai Papua New Guinea, sudah mengenal pertanian modern sejak 8.000 hingga 9.000 tahun lalu. Itu jauh lebih awal dari orang Jawa mengenal pertanian modern yang diperkirakan baru 5.000 tahun yang lalu. Dalam hal ini kesadaran kolektif untuk masyarakat Papua sangat diperlukan untuk kembali lagi ke sistem yang sejak lama sudah ada daripada mengharapkan kucuran dana dan bantuan dana laim yang diberikan Cuma cuma oleh pemerintah pusat yang justru akan menambah ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Menurut penulis dalam hal ini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah gagal memahami antropolog masyarakat Papua seperti Belanda dulu, yang mana ketika Belanda berada di Papua masyarakat Papua justru didorong agar mereka mandiri dengan kemampuan yang mereka miliki, dan yang tidak punya keterampilan dan sebagainya diajarkan lewat berbagai pelatihan dan setelahnya diberikan fasilitas penunjang agar masyarakat berusaha dan bekerja sendiri sesuai dengan keahlian yang diajarkan oleh mereka, pemerintah Indonesia baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah gagal paham akan hal ini, menurut penulis mungkin pemerintah Indonesia tidak mau mengambil langkah seperti yang dilakukan oleh pemerintah belanda ini mungkin sengaja tidak diambil oleh pemerintah Indonesia karena pemerintah Indonesia ingin menghilangkan segalah pengaruh yang ditinggalkan oleh pemerintah belanda di seluruh tanah Papua.
Seperti yang disinggung diatas bahsawanya ketergantungan baik elit maupun masyarakat terhadap berbagai kucuruan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat, hal ini disampaikan oleh I Ngurah Suryawan dalam bukunnya mengatakan bahwa desentralisasi dan otsus memang membuka peluang terjadinya praktik pemburuan rente ekonomi politik. Hal yang disampaikan oleh I Ngurah Suryawan ini adalah fakta yang benar benar terjadi di tanah Papua, hal ini dapat dilihat salah satunya adalah ketika pemerintah Indonesia maupun pemerintah daerah melakukan pembahasan mengenai perpanjangan otsus, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melupakan substansi masalah dari otsus tetapi mereka lebih memilih membahas besaran uang yang akan diberikan untuk Papua yang itu sama sekali bukan masalah subtansi dari otus. Menurut suryawan otsus memungkinkan perluasan korupsi kotupsi sistemik sampai ke kampung kampung dengan jaringan elit lokal korupsi. Semuanya bisa “ disesuaikan” (istilah yang dipakai kelompok menengah di Papua untuk menunjukan semua aturan bisa dimainkan dan dinegosiasikan). Hadirnya otsus dan pemekaran daerah yang dicita citakan untuk kesejatraan rakyat Papua telah dicuri oleh elit lokal Papua untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya .
oseii
Fakta yang terjadi saat ini. Salut kawan.
BalasHapus